Perjalanan
ini bermula dari bangku kuliah, tepatnya dari mata kuliah MicroTeaching
yang menjadi batu pijakan sebelum saya benar – benar terjun ke dunia sekolah.
Dari mata kuliah MicroTeaching mengajarkan lebih dari sekadar teknik
berdiri di depan kelas, di sanalah saya belajar menyusun skenario pembelajaran,
mengelola ritme belajar siswa, dan merancang evaluasi dan lain sebagainya. MicroTeaching
adalah pelatihan awal yangmembekali mahasiswa dengankompetensi dan keterampilan
dasarmengajar melalui simulasi dalam skala kecil (Ananda, 2025). Pengalaman
praktis yang diperoleh dari MicroTeaching diharapkan dapat menjembatani
kesenjangan antara teori dan praktik, sehingga mahasiswa lebih percaya diri dan
terampil saat terjun langsung ke lapangan melalui program PLP (Ananda, 2025). pdiengalaman
itu membuat saya percaya diri namun kenyataan di lapangan kemudian mengajarkan
bahwa percaya diri saja belum cukup.
Masuk ke kelas XI SMAS Muhammadiyah 2 Singaraja adalah babak baru. Di kelas, teori harus diubah menjadi bahasa yang mudah dipahami siswa. Kelas XI menurut saya kelas yang aktif dan drama – drama kecil yang mereka buat membuat saya lebih tertantang dan menjadi lebih antusias mengajar mereka. Ketika membahas konsep permasalahan sosial akibat pengelompokan sosial, saya memulai dengan pertanyaan “Masalah artis dimedia sosial, apakah masuk kedalam permasalahan sosial”. Dari pertanyaan ini diskusi dimulai siswa langsung menjawab ada yang menyatakan “iya” ada yang “tidak”. Disinilah letak kita untuk menanyakan alasan merepa menjawab “iya” dan “tidak”. Setelah siswa menjelaskan alasannya saya memberikan penjelasan ulang mengenai jawabannya. Praktik mengajar sehari-hari mengajarkan saya perlunya fleksibilitas dan pentingnya memberi ruang bagi suara siswa. Suatu kali saat saya mempersiapkan permainan edukatif untuk menjelaskan konsep permasalah sosial dan konflik sosial, membuat modul pembelajaran dan juga s oal ujian bersama tim teaching kelas XI Sosiologi.
Pendampingan AkademikSelain mengajar, saya juga membimbing beberapa proyek akademik siswa kelas X termasuk pendampingan penulisan makalah penelitian sosial. Saya mengajarkan cara menyusun rumusan masalah, mencari penelitian terdahulu di google scholar, memilih metode pengumpulan data yang sederhana tapi valid (misalnya, observasi dan wawancara singkat), hingga tutorial membuat dokumen Word melalui ponsel bagi mereka yang belum familiar. Saya masih ingat momen saat dua kelompok berhasil menyelesaikan bab 1 mereka tidak lupa mengucapkan “terima kasih, Bu” dari salah satu dari mereka terasa sangat menghangatkan bukan karena saya membantu membuat tugas, tetapi karena saya membantu mereka merasakan proses penelitian itu sendiri.
Tantangan
dan Pembelajaran di Lapangan
Mengajar
di lapangan ternyata sangat berbeda dengan simulasi MicroTeaching. Di
ruangan simulasi, suasana masih dapat dikendalikan dan skenarionya terprediksi.
Namun, ketika berada di depan siswa yang sebenarnya, segala sesuatu menjadi
jauh lebih dinamis.
Pengalaman
pertama mengajar Sosiologi di kelas XI menjadi babak yang sangat berharga. Saya
belajar bagaimana membuat materi pembelajaran lebih dekat dengan kehidupan
mereka, bagaimana mengatur kelas yang penuh energi, serta bagaimana
menyesuaikan strategi mengajar sesuai kebutuhan peserta didik, seperti halnya
kelas XI yang lebih aktif jika dalam pembelajaran terdapat games edukatif.
Selain
kegiatan mengajar dan PMR, saya juga terlibat dalam persiapan Olimpiade
Sosiologi, bimbingan TKA Sosiologi untuk kelas XII, pelatihan public speaking,
hingga proyek pembuatan video konflik sosial untuk kelas XI. Setiap kegiatan
menuntut gaya bimbingan yang berbeda dan memperluas cara saya memahami peran pendidik
tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai mentor, fasilitator, dan
pendamping proses tumbuhnya siswa.
Penutup
Walaupun
belum menjadi guru sepenuhnya, namun pengalaman ini menjadi ukiran yang
menghangatkan hati saya karena setiap senyum, tanya, dan cerita siswa
meninggalkan jejak pembelajaran yang tak bisa dibeli dari bangku kuliah.
Menutup
kesan pesan ini, saya kembali teringat bahwa perjalanan dari Micro Teaching
hingga asistensi mengajar bukanlah garis lurus menuju kesempurnaan. Ia adalah
proses berulang yang menuntut kesabaran dan keinginan untuk terus belajar dari
buku, guru, dosen, rekan – rekan Asistensi Mengajar dan terutama dari siswa
sendiri. Pengalaman di SMAS Muhammadiyah 2 Singaraja menguatkan keyakinan saya
bahwa menjadi guru berarti menjadi pembelajar seumur hidup. Seperti ungkapan
yang mengebutkan bahwa belajar dan pembelajaran merupakan “lifelong education”
yang berarti pendidikan seumur hidup hal ini berlaku pula untuk seorang guru
dan dosen sebagai agen perubahan dalam dunia pendidikan. (Apriliyanti,2025) Dan
itulah makna paling berharga yang saya bawa pulang bukan hanya soal mengajar,
melainkan tumbuh bersama mereka dari kelas ke lapangan.
Penulis:
Wika Yosepha
Mahasiswa
Asistensi Mengajar Universitas Pendidikan Ganesha
Daftar
Pustaka
Ananda,
A. D. T., & Sari, F. A. (2025). Pengaruh Efikasi diri dan Mata Kuliah Micro
teaching terhadap Persiapan mengikuti Program Pengenalan lapangan Persekolahan
(PLP) pada Mahasiswa PIPS FKIP Universitas Riau. Pendas: Jurnal Ilmiah
Pendidikan Dasar, 10(03), 735-744.
Apriliyanti,
I, D. L. (2025). Guru dan Dosen sebagai Agen. Pendidikan berdaya untuk
Indonesia Emas 2045 (Paragon projek 3), 125.
0 comments:
Posting Komentar